�Bahasa persatuan hendaknya bernama Bahasa Indonesia. Kalau belum ada, kita lahirkan Bahasa Indonesia melalui Kongres Pemuda Pertama ini.�
M. Tabrani, 2 Mei 1926
Bahasa Indonesia sebagai pranata hidup yang telah ditetapkan dan sudah menjadi identitas persatuan nasional mesti dilestarikan pada tataran pribadi dan pada tataran masyarakat.
Pada tataran pribadi bahasa itu, sebagaimana bahasa mana pun di dunia ini, sudah dan mesti diteruskan bukan hanya untuk menjadi sarana pengungkapan batin manusia dan kekayaannya, melainkan juga menjadi sarana untuk memandang dunia sekitar, sehingga dapat dikembangkan cara pandang bangsa Indonesia.
Seperti halnya bahasa-bahasa mana pun di dunia, Bahasa Indonesia senantiasa mengalami perubahan yang sering tidak dirasakan oleh penuturnya. Perubahan itu bisa bersifat sentrifugal, bisa bersifat sentripetal. Perubahan yang bersifat sentrifugal menghasilkan banyaknya ragam dan dialek yang mestinya dapat menjadi sarana pengungkapan kreatif kelompok dan individu penutur, namun pada akhirnya dapat mengakibatkan kegagalan komunikasi yang menghasilkan bahasa-bahasa yang berbeda. Perubahan sentripetal yang bertujuan untuk menghalangi atau mengurangi perkembangan sentrifugal dapat mengakibatkan keseragaman yang �menyesakkan�. Pembinaan bahasa sebagai bagian dari strategi kebudayaan mesti mengusahakan keseimbangan di antara kekuatan sentrifugal dan kekuatan sentripetal. Pelestarian pada tataran masyarakat akan menjaga kestabilan bahasa sebagai alat komunikasi yang kreatif.
MASA-MASA AWAL BAHASA INDONESIA
Ketika Bahasa Melayu diresmikan sebagai bahasa persatuan dan diberi nama Bahasa Indonesia, para pencetus Sumpah Pemuda tidak memperhatikan Bahasa Melayu jenis mana yang akan digunakan, mengingat banyaknya variasi dalam Bahasa Melayu pada waktu itu, seperti halnya sekarang. Dalam Kongres Bahasa Indonesia Pertama tahun 1938 di Solo Ki Hadjar Dewantara menyatakan,
�Jang dinamakan �Bahasa Indonesia� jaitoe Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari �Melajoe Riau� akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah atau dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh ra�jat diseloeroeh Indonesia; pembaharoean Bahasa Melajoe hingga mendjadi Bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia.�
Dalam perkembangannya karena Bahasa Indonesia sudah dianggap tidak sama dengan Bahasa Melayu, jadilah ia sebuah bahasa yang tidak sama dengan bahasa pokok atau bahasa asal itu. Namun Bahasa Melayu sendiri, bersama dengan bahasa-bahasa daerah lain berdampingan dengan Bahasa Indonesia bahasa persatuan Indonesia, tidak mati, bahkan tetap berkembang dengan subur seperti sediakala berupa dialek dan ragamnya di pelosok-pelosok Asia Tenggara.
Dalam pada itu Bahasa Indonesia, setelah mulai dengan tersendat-sendat dan kemudian didorong untuk tumbuh mandiri ketiga negeri ini dijajah Jepang, berkembang dengan sangat pesat dan sangat subur dalam semua bidang kehidupan, bukan hanya dalam bidang kesusastraan atau bidang administrasi dan pers saja, melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan lebih dari itu, di luar dugaan dan tanpa rencana dan tanpa ada yang mengatur, Bahasa Indonesia menjadi bahasa ibu bagi generasi baru manusia Indonesia.
PERUBAHAN EKSTERN:� munculnya generasi penutur Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dan persaingan antara bahasa
Tumbuhnya Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan terjadinya persaingan di antar bahasa nasional dengan bahasa-bahasa daerah dalam pelbagai ranah kehidupan merupakan episode baru dalam sejarah bahasa kita. Dari sudut pandang para pesimis, keadaan itu membahayakan bahasa-bahasa daerah baik dalam pelbagai ranah kehidupan, maupun dalam penggunaan bahasa dan khazanah bahasanya. Bahasa nasional menyisihkan bahasa daerah yang semula lebih banyak digunakan sebagai bahasa dalam keluarga; bahasa daerah tidak mendapat kesempatan untuk berkembang menjadi bahasa ilmiah, misalnya. Juga kesusastraan daerah tersaingi oleh kesusastraan Indonesia yang lebih banyak peminatnya. Dari sudut pandang para optimis, keadaan itu dianggap merupakan keniscayaan sejarah, dan merupakan pertanda terjadinya pergeseran fungsi atau pembagian fungsi baru di antara kedua jenis bahasa itu, dan bila dikelola dengan baik akan terjadi bilingualisme yang tidak akan merugikan pengguna bahasa. Sementera itu bahasa daerah akan banyak berubah karena pengaruh kuat dari (atau dalam pandangan yang lebih optimistis, diperkaya oleh) Bahasa Indonesia.
Kalau kita amati pendapat para pakar dan peminat bahasa tentang perbenturan itu�sebagaimana dapat dilihat dalam pelbagai pertemuan bahasa, seperti Kongres Bahasa Indonesia yang diselenggarakan lima tahun sekali (yang akan disinggung di bawah nanti)�tidak ada satu orang pun yang menghendaki matinya bahasa dan kesusastraan daerah, walaupun kehendak dan keinginan itu jarang diterjemahkan menjadi tindakan atau program yang bernas. Memang nampaknya apakah monolingualisme yang menyisihkan bahasa-bahasa daerah ataukah bilingualisme berimbang yang akan terwujud secara praktis (yang sebagai prinsip tidak pernah mengemuka dalam perdebatan publik), tergantung pada faktor-faktor luar bahasa, seperti politik dan ekonomi.
Pergulatan di antara bahasa nasional dan bahasa daerah yang belum selesai tersebut diperumit oleh munculnya Bahasa Inggris yang dengan dukungan kekuatan politik dan ekonomi yang sangat dahsyat menjadi tantangan berat bagi kelanggengan konsensus nasional untuk mempertahankan persatuan nasional melalui Bahasa Indonesia. Dalam hal ini pun sebenarnya masalahnya serupa dengan masalah bahasa nasional lawan bahasa daerah: beberapa negara di Asia ataukah�seperti sekarang�dengan isme apa saja namanya (karena belum ada istilahnya dalam linguistik), memperlakukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, menghormati bahasa-bahasa daerah sebagai kekayaan budaya, dan menganggap Bahasa Inggris tetap sebagai bahasa asing. Walau tidak pernah muncul dalam pembahasan publik, dapat kita pahami seandainya para penganut golobalisasi akan mendukung bilingualisme.
PERUBAHAN INTERN
Berlainan dengan pendapat beberapa ahli ilmu sosial dan linguistik asing yang tidak mendalami sejarah bahasa, Bahasa Indonesia jelas bukan bahasa �artificial� dan bukan pula kreol atau pijin, melainkan bahasa alami. Sebagai bahasa alami Bahasa Indonesia di samping mempunyai penutur yang berbahasa ibu itu, juga menumbuhkan variasi bahasa berupa dialek dan ragam bahasa. Terjadinya dialek dan ragam bahasa itu adalah karena bahasa alami menjadi sasaran apa yang lazim disebutkan perubahan bahasa yang bersifat sentrifugal yang bila tidak ada kendali masing-masing bisa menjadi bahasa sendiri. Di samping kekuatan itu, bahasa alami juga menjadi sasaran perubahan bahasa yang bersifat sentripetal yang mendasari terjadinya pembakuan bahasa, pembentukan bahasa profesi atau penyeragaman istilah yang bila tak terkendali akan terjadi uniformisasi yang mematikan kreativitas. Tanpa atau dengan intervensi pengendalian perubahan bahasa bisa dicapai dengan mengusahakan keseimbangan di antara kedua kekuatan itu. Intervensi itu bisa terencana, bisa tak terencana. Contoh yang terencana ialah penerbitan, persekolahan, atau kebijakan bahasa secara institusional; yang tak terencana ialah penciptaan kata-kata baru yang kemudian diterima masyarakat atau penggunaan kata Ibu dan Bapak untuk menyapa dengan hormat�entah siapa yang memulainya.
Apa yang dikenal masyarakat luas sebagai pembakuan bahasa atau standardisasi sebagai salah satu bentuk intervensi semestinya dimaksudkan untuk menyeimbangkan kekuatan sentrifugal dan kekuatan sentripetal. Pembakuan bahasa bukan dimaksudkan untuk mencapai keseragaman bahasa, melainkan untuk memantapkan fungsi pelbagai ragam bahasa (satu di antaranya adalah ragam baku) disertai unsur-unsur bahasa sebagai pengungkapnya, mulai dari lafal dan ejaan sampai ke wacana.
Standardisasi bahasa merupakan salah satu upaya apa yang dikenal sebagai pembinaan bahasa, yakni upaya untuk mengukuhkan pemakaian bahasa di kalangan penggunanya dengan memperdalam pengetahuan dan wawasan dan meningkatkan sikap positif terhadap bahasa itu.
Dalam sejarahnya yang hanya berlangsung selama kurang dari 75 tahun perubahan dalam Bahasa Indonesia yang sangat drastis telah terjadi, tetapi upaya intervensi pun tidak kurang dilaksanakan orang.
ASPIRASI MASYARAKAT TERHADAP MASA DEPAN BAHASA INDONESIA
Sebagai konsekuensi Sumpah Pemuda 1928 persoalan bahasa merupakan persoalan yang akrab bagi semua orang dan tidak dapat dipisahkan dari persoalan kehidupan bangsa. Jadi semua persoalan itu menjadi bahan pembahasan dalam kajian ilmiah dan pertemuan kebahasaan, antara lain yang dijadikan tradisi berupa Kongres Bahasa Indonesia yang diselenggarakan sekali lima tahun, dan dihadiri oleh segala lapisan masyarakat. Dari waktu ke waktu ada pengulangan dalam topik yang dibahas, ada pergeseran fokus yang diminati orang, tetapi semuanya memiliki dasar yang bertujuan untuk mengukuhkan dan memantapkan konsensus nasional untuk:
1. mengekalkan dan mengembangkan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa;
2. mempertegas fungsinya dalam kehidupan berbangsa;
3. memuliakan bahasa-bahasa daerah sebagai kekayaan sosial budaya bangsa;
4. senantiasa mengorientasikan diri dalam menghadapi perubahan-perubahan konstelasi dunia, khususnya dengan mempertegas fungsi bahasa-bahasa asing;
5. memanfaatkan perkembangan bahasa-bahasa dunia dengan karya sastra dan karya intelektualnya demi kemajuan peradaban bangsa Indonesia.
PEMBINAAN BAHASA SEBAGAI BAGIAN STRATEGI KEBUDAYAAN
Kata kunci yang selalu muncul dalam pembahasan tentang Bahasa Indonesia ialah jati diri bangsa. Dan memang itulah warisan sejarah persatuan bangsa kita yang secara tradisional terungkap dalam pepatah Bahasa menunjukkan bangsa dan dalam pantun Yang kurik kundi, yang merah saga; yang baik budi, yang indah bahasa. Dalam linguistik hubungan di antara bahasa dan penuturnya pernah diperdebatkan dalam rangka pemikiran bahwa bahasa mempengaruhi cara pandang penuturnya, dan bukan hanya sebaliknya. Kasus perubahan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia karena perubahan cara pandang penuturnya menguatkan tesis itu. Jadi bila kita percaya pada tesis itu dan ingin mempertahankan jati diri kita, tentunya yang perlu dilakukan ialah memelihara bahasa kita supaya sejak dini digunakan untuk memandang diri dan alam sekitar penuturnya.
Jalan satu-satunya ialah mengintegrasikan prinsip dan upaya pembinaan bahasa ke dalam strategi kebudayaan Indonesia.
M. Tabrani, 2 Mei 1926
Bahasa Indonesia sebagai pranata hidup yang telah ditetapkan dan sudah menjadi identitas persatuan nasional mesti dilestarikan pada tataran pribadi dan pada tataran masyarakat.
Pada tataran pribadi bahasa itu, sebagaimana bahasa mana pun di dunia ini, sudah dan mesti diteruskan bukan hanya untuk menjadi sarana pengungkapan batin manusia dan kekayaannya, melainkan juga menjadi sarana untuk memandang dunia sekitar, sehingga dapat dikembangkan cara pandang bangsa Indonesia.
Seperti halnya bahasa-bahasa mana pun di dunia, Bahasa Indonesia senantiasa mengalami perubahan yang sering tidak dirasakan oleh penuturnya. Perubahan itu bisa bersifat sentrifugal, bisa bersifat sentripetal. Perubahan yang bersifat sentrifugal menghasilkan banyaknya ragam dan dialek yang mestinya dapat menjadi sarana pengungkapan kreatif kelompok dan individu penutur, namun pada akhirnya dapat mengakibatkan kegagalan komunikasi yang menghasilkan bahasa-bahasa yang berbeda. Perubahan sentripetal yang bertujuan untuk menghalangi atau mengurangi perkembangan sentrifugal dapat mengakibatkan keseragaman yang �menyesakkan�. Pembinaan bahasa sebagai bagian dari strategi kebudayaan mesti mengusahakan keseimbangan di antara kekuatan sentrifugal dan kekuatan sentripetal. Pelestarian pada tataran masyarakat akan menjaga kestabilan bahasa sebagai alat komunikasi yang kreatif.
MASA-MASA AWAL BAHASA INDONESIA
Ketika Bahasa Melayu diresmikan sebagai bahasa persatuan dan diberi nama Bahasa Indonesia, para pencetus Sumpah Pemuda tidak memperhatikan Bahasa Melayu jenis mana yang akan digunakan, mengingat banyaknya variasi dalam Bahasa Melayu pada waktu itu, seperti halnya sekarang. Dalam Kongres Bahasa Indonesia Pertama tahun 1938 di Solo Ki Hadjar Dewantara menyatakan,
�Jang dinamakan �Bahasa Indonesia� jaitoe Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari �Melajoe Riau� akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah atau dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh ra�jat diseloeroeh Indonesia; pembaharoean Bahasa Melajoe hingga mendjadi Bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia.�
Dalam perkembangannya karena Bahasa Indonesia sudah dianggap tidak sama dengan Bahasa Melayu, jadilah ia sebuah bahasa yang tidak sama dengan bahasa pokok atau bahasa asal itu. Namun Bahasa Melayu sendiri, bersama dengan bahasa-bahasa daerah lain berdampingan dengan Bahasa Indonesia bahasa persatuan Indonesia, tidak mati, bahkan tetap berkembang dengan subur seperti sediakala berupa dialek dan ragamnya di pelosok-pelosok Asia Tenggara.
Dalam pada itu Bahasa Indonesia, setelah mulai dengan tersendat-sendat dan kemudian didorong untuk tumbuh mandiri ketiga negeri ini dijajah Jepang, berkembang dengan sangat pesat dan sangat subur dalam semua bidang kehidupan, bukan hanya dalam bidang kesusastraan atau bidang administrasi dan pers saja, melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan lebih dari itu, di luar dugaan dan tanpa rencana dan tanpa ada yang mengatur, Bahasa Indonesia menjadi bahasa ibu bagi generasi baru manusia Indonesia.
PERUBAHAN EKSTERN:� munculnya generasi penutur Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dan persaingan antara bahasa
Tumbuhnya Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan terjadinya persaingan di antar bahasa nasional dengan bahasa-bahasa daerah dalam pelbagai ranah kehidupan merupakan episode baru dalam sejarah bahasa kita. Dari sudut pandang para pesimis, keadaan itu membahayakan bahasa-bahasa daerah baik dalam pelbagai ranah kehidupan, maupun dalam penggunaan bahasa dan khazanah bahasanya. Bahasa nasional menyisihkan bahasa daerah yang semula lebih banyak digunakan sebagai bahasa dalam keluarga; bahasa daerah tidak mendapat kesempatan untuk berkembang menjadi bahasa ilmiah, misalnya. Juga kesusastraan daerah tersaingi oleh kesusastraan Indonesia yang lebih banyak peminatnya. Dari sudut pandang para optimis, keadaan itu dianggap merupakan keniscayaan sejarah, dan merupakan pertanda terjadinya pergeseran fungsi atau pembagian fungsi baru di antara kedua jenis bahasa itu, dan bila dikelola dengan baik akan terjadi bilingualisme yang tidak akan merugikan pengguna bahasa. Sementera itu bahasa daerah akan banyak berubah karena pengaruh kuat dari (atau dalam pandangan yang lebih optimistis, diperkaya oleh) Bahasa Indonesia.
Kalau kita amati pendapat para pakar dan peminat bahasa tentang perbenturan itu�sebagaimana dapat dilihat dalam pelbagai pertemuan bahasa, seperti Kongres Bahasa Indonesia yang diselenggarakan lima tahun sekali (yang akan disinggung di bawah nanti)�tidak ada satu orang pun yang menghendaki matinya bahasa dan kesusastraan daerah, walaupun kehendak dan keinginan itu jarang diterjemahkan menjadi tindakan atau program yang bernas. Memang nampaknya apakah monolingualisme yang menyisihkan bahasa-bahasa daerah ataukah bilingualisme berimbang yang akan terwujud secara praktis (yang sebagai prinsip tidak pernah mengemuka dalam perdebatan publik), tergantung pada faktor-faktor luar bahasa, seperti politik dan ekonomi.
Pergulatan di antara bahasa nasional dan bahasa daerah yang belum selesai tersebut diperumit oleh munculnya Bahasa Inggris yang dengan dukungan kekuatan politik dan ekonomi yang sangat dahsyat menjadi tantangan berat bagi kelanggengan konsensus nasional untuk mempertahankan persatuan nasional melalui Bahasa Indonesia. Dalam hal ini pun sebenarnya masalahnya serupa dengan masalah bahasa nasional lawan bahasa daerah: beberapa negara di Asia ataukah�seperti sekarang�dengan isme apa saja namanya (karena belum ada istilahnya dalam linguistik), memperlakukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, menghormati bahasa-bahasa daerah sebagai kekayaan budaya, dan menganggap Bahasa Inggris tetap sebagai bahasa asing. Walau tidak pernah muncul dalam pembahasan publik, dapat kita pahami seandainya para penganut golobalisasi akan mendukung bilingualisme.
PERUBAHAN INTERN
Berlainan dengan pendapat beberapa ahli ilmu sosial dan linguistik asing yang tidak mendalami sejarah bahasa, Bahasa Indonesia jelas bukan bahasa �artificial� dan bukan pula kreol atau pijin, melainkan bahasa alami. Sebagai bahasa alami Bahasa Indonesia di samping mempunyai penutur yang berbahasa ibu itu, juga menumbuhkan variasi bahasa berupa dialek dan ragam bahasa. Terjadinya dialek dan ragam bahasa itu adalah karena bahasa alami menjadi sasaran apa yang lazim disebutkan perubahan bahasa yang bersifat sentrifugal yang bila tidak ada kendali masing-masing bisa menjadi bahasa sendiri. Di samping kekuatan itu, bahasa alami juga menjadi sasaran perubahan bahasa yang bersifat sentripetal yang mendasari terjadinya pembakuan bahasa, pembentukan bahasa profesi atau penyeragaman istilah yang bila tak terkendali akan terjadi uniformisasi yang mematikan kreativitas. Tanpa atau dengan intervensi pengendalian perubahan bahasa bisa dicapai dengan mengusahakan keseimbangan di antara kedua kekuatan itu. Intervensi itu bisa terencana, bisa tak terencana. Contoh yang terencana ialah penerbitan, persekolahan, atau kebijakan bahasa secara institusional; yang tak terencana ialah penciptaan kata-kata baru yang kemudian diterima masyarakat atau penggunaan kata Ibu dan Bapak untuk menyapa dengan hormat�entah siapa yang memulainya.
Apa yang dikenal masyarakat luas sebagai pembakuan bahasa atau standardisasi sebagai salah satu bentuk intervensi semestinya dimaksudkan untuk menyeimbangkan kekuatan sentrifugal dan kekuatan sentripetal. Pembakuan bahasa bukan dimaksudkan untuk mencapai keseragaman bahasa, melainkan untuk memantapkan fungsi pelbagai ragam bahasa (satu di antaranya adalah ragam baku) disertai unsur-unsur bahasa sebagai pengungkapnya, mulai dari lafal dan ejaan sampai ke wacana.
Standardisasi bahasa merupakan salah satu upaya apa yang dikenal sebagai pembinaan bahasa, yakni upaya untuk mengukuhkan pemakaian bahasa di kalangan penggunanya dengan memperdalam pengetahuan dan wawasan dan meningkatkan sikap positif terhadap bahasa itu.
Dalam sejarahnya yang hanya berlangsung selama kurang dari 75 tahun perubahan dalam Bahasa Indonesia yang sangat drastis telah terjadi, tetapi upaya intervensi pun tidak kurang dilaksanakan orang.
ASPIRASI MASYARAKAT TERHADAP MASA DEPAN BAHASA INDONESIA
Sebagai konsekuensi Sumpah Pemuda 1928 persoalan bahasa merupakan persoalan yang akrab bagi semua orang dan tidak dapat dipisahkan dari persoalan kehidupan bangsa. Jadi semua persoalan itu menjadi bahan pembahasan dalam kajian ilmiah dan pertemuan kebahasaan, antara lain yang dijadikan tradisi berupa Kongres Bahasa Indonesia yang diselenggarakan sekali lima tahun, dan dihadiri oleh segala lapisan masyarakat. Dari waktu ke waktu ada pengulangan dalam topik yang dibahas, ada pergeseran fokus yang diminati orang, tetapi semuanya memiliki dasar yang bertujuan untuk mengukuhkan dan memantapkan konsensus nasional untuk:
1. mengekalkan dan mengembangkan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa;
2. mempertegas fungsinya dalam kehidupan berbangsa;
3. memuliakan bahasa-bahasa daerah sebagai kekayaan sosial budaya bangsa;
4. senantiasa mengorientasikan diri dalam menghadapi perubahan-perubahan konstelasi dunia, khususnya dengan mempertegas fungsi bahasa-bahasa asing;
5. memanfaatkan perkembangan bahasa-bahasa dunia dengan karya sastra dan karya intelektualnya demi kemajuan peradaban bangsa Indonesia.
PEMBINAAN BAHASA SEBAGAI BAGIAN STRATEGI KEBUDAYAAN
Kata kunci yang selalu muncul dalam pembahasan tentang Bahasa Indonesia ialah jati diri bangsa. Dan memang itulah warisan sejarah persatuan bangsa kita yang secara tradisional terungkap dalam pepatah Bahasa menunjukkan bangsa dan dalam pantun Yang kurik kundi, yang merah saga; yang baik budi, yang indah bahasa. Dalam linguistik hubungan di antara bahasa dan penuturnya pernah diperdebatkan dalam rangka pemikiran bahwa bahasa mempengaruhi cara pandang penuturnya, dan bukan hanya sebaliknya. Kasus perubahan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia karena perubahan cara pandang penuturnya menguatkan tesis itu. Jadi bila kita percaya pada tesis itu dan ingin mempertahankan jati diri kita, tentunya yang perlu dilakukan ialah memelihara bahasa kita supaya sejak dini digunakan untuk memandang diri dan alam sekitar penuturnya.
Jalan satu-satunya ialah mengintegrasikan prinsip dan upaya pembinaan bahasa ke dalam strategi kebudayaan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar